Hadirin Sidang Jum’ah
Rahimakumullah
Pujian
dan pujaan syukur marilah selalu kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Tuhan
Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kita kesempatan, kesehatan, dan
ke’afiatan, sehingga pada siang hari dan di tempat yang mulia ini, kita semua
dapat berkumpul dalam memelihara kewajiban kepada untuk menghadap kepada-Nya.
Shalawat
dan salam marilah tanpa henti kita kumandangkan kepada ruh junjungan alam,
baginda nabi, Rasulullah, Muhammad SAW dengan penuh harap, semoga kita semua mendapat
syafaat dari beliau kelak di yaumil qiyamah. Amin ya Rabbal’alamin!
Selanjutnya,
khotib mengajak kepada kita semua, marilah kita terus-menerus memantapkan
dengan keyakinan yang sungguh-sungguh keimanan kita kepada Allah, diiringi
taqwa yang sebenar-benarnya yaitu, hanya mengharap ridho dan rahmat Allah SWT .
Hadirin Sidang Jum’ah
Rahimakumullah
Jika
pada suatu hari, seorang sahabat membawakan kita makanan berupa daging yang
lezat, dengan bumbu yang menggiurkan, kemudian daging itu kita santap dengan
nikmat, dan ketika dengan asyiknya kita nikmati daging tersebut, sahabat kita
mengatakan daging itu adalah bangkai dari saudara kita yang telah meninggal
dunia.
Lantas,
apakah daging itu akan kita santap lagi ataukah kita akan memuntahkan daging
yang telah kita santap tadi? Jawabannya adalah kembali ke diri kita
masing-masing.
Jika
kita lanjutkan untuk menyantapnya, berarti kita adalah ahli ghibah, ahli
mengumpat, dan ahli menggunjing. Jika kita menyantapnya lagi berarti kita
adalah orang yang senang dengan keburukan saudara kita yang lain.
Dalam Al Qur’an Surah Al Hujurat ayat 12, Allah SWT
mengingatkan kepada kita:
“Dan janganlah kalian mencari cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing (ghibah) kepada sebagian
yang lainnya. Apakah kalian suka salah seorang di antara kalian memakan daging
saudaramu yang sudah mati? Maka tentulah kalian membencinya. Dan bertakwalah
kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat dan Maha Pengasih.”
(Al-Hujarat:12) –
Hadirin Sidang Jum’ah
Rahimakumullah
Imam Al Ghazali
dan Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu melakukan
pergunjingan atau membicarakan aib
orang lain,
karena pergunjingan itu lebih berat dosanya
dari perzinaan. Karena, jika seseorang
yang berzina kemudian bertobat maka Allah mengampuninya. Sedangkan penggunjing
tidak akan diampuni Allah, sebelum orang yang digunjingkan itu memaafkannya.”
Alangkah beratnya siksa yang ditanggung
oleh tukang gunjing (mughtaab), tukang penyebar ghibah. Betapapun dia bertobat
kepada Allah, pintu pengampunan tidak akan terbuka, kecuali dia berlari dan
bersungguh-sungguh meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya itu.
Tidakkah kita takut pada siksa Allah?
Bagaimana bila orang yang digunjingkan itu telah meninggal dunia? Lantas, Kepada
siapakah kita akan memohonkan maaf. Padahal, kunci
surga hanya terbuka bila ada pemaafan darinya.
Imam al Gazali
dalam Mukhtasar
Ihya Ulumudin juga meriwayatkan penggalan nasihat Allah
kepada Nabiyulah Musa AS.
“Wahai
Musa, Barang
siapa yang mati dalam keadaan bertobat dari gunjingan, maka ia adalah orang
terakhir yang memasuki surga. Dan barang siapa yang mati dalam keadaan
bergunjing, maka ia adalah orang pertama yang memasuki neraka.”
Hadirin Sidang Jum’ah Rahimakumullah
Saat ini, ghibah telah menjadi komoditas penting dan dapat
dikatakan sebagai suatu hal pokok dalam kehidupan bermasyarakat kita. Terbukti,
dalam kehidupan bermasyarakat kita sehari-hari, kita sering terpesona dengan
aib orang lain daripada melihat aib diri kita sendiri.
Kehidupan rumah tangga orang yang sangat
pribadi pun dibongkar. Dan, kita pun merasa asyik untuk melakukan
estafet ghibah tersebut ke tetangga – tetangga kita.
Dalam dunia politik akhir-akhir ini,
ghibah merupakan senjata yang paling ampuh untuk mehancurkan harga diri dan
reputasi lawan politiknya, semua orang tidak ada yang benar, hanya dirinyalah yang merasa
paling benar.
Betapa besarnya dosa dan konsekuensi moral
yang disebabkan oleh ulah lidah kita. Lidah adalah cermin moral kemanusiaan paling fundamental atau paling pokok
yang menghiasi akhlak seorang Muslim. Betapapun rajin kita beribadah, di
hadapan Allah, ibadah kita tidak memiliki manfaat sama sekali,
selama lidah kita menggibah dan menyakiti orang lain.
Sahabat Muadz bin Jabbal RA pernah
bertanya pada Rasulullah SAW. “Apakah kita akan diminta pertanggungjawaban
karena apa yang diucapkan lidah kita,
wahai Rasulullah?” kemudian Rasulullah menjawab, “Wahai
Ibnu Jabbal, tidaklah manusia-manusia itu akan ditelungkupkan dengan hidungnya
terlebih dahulu di neraka, melainkan karena apa yang dilakukan oleh lidahnya.”
(Alhadits).
Akhirnya, marilah kita jaga diri kita dan keluarga kita dari
bahaya lidah dan ghibah, dan marilah kita berdo’a Semoga
Allah mengampuni
dosa-dosa kita, melindungi kita dan keluarga kita
dari dosa kecil dan dosa besar dan selalu memelihara kita dari bahaya lidah kita
sendiri. Amin ya rabbal’alamin!